ACANESIA
the true contemplation of something complicated...

Juara 1 lomba essay islam FH UNNES 2011

Labels:


PENERAPAN TEORI ULAMA ISLAM DALAM PEMBENTUKAN HUKUMAN PIDANA PENJARA BAGI PELAKU KORUPSI PASAL 2 DAN 3 UU TINDAK PIDANA KORUPSI
oleh: Ahmadi Hasanuddin Dardiri

Indonesia menegaskan diri sebagai negara hukum, terbukti di dalam UUD 1945 pasal 1 (3) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini kemudian berimplikasi terhadap segala bentuk pelaksanaan pemerintahan Indonesia yang harus didasarkan pada hukum atau peraturan yang berlaku di Indonesia. artinya, baik atau buruknya segala pelaksanaan pemerintahan yang terjadi di Indonesia memiliki korelasi atau ketergantungan yang salah satunya disebabkan oleh baik atau tidaknya pembentukan hukum di Indonesia.
Permasalahan hukum yang terjadi di Indonesia dewasa ini sangatlah beragam, mulai dari praktek kekerasan rumah tangga, legalisasi tempat pelacuran sebagai dalih kontrol atas praktik kesusilaan, pembagian alat kontrasepsi atas nama pencegahan HIV AIDS, pornografi atas nama kebebasan dan kesenian bahkan penyimpangan kewenangan aparat hukum dalam penegakan hukum sendiri seperti dalam kasus jaksa Tri Urip Gunawan dan hakim Asnun sebagai terdakwa suap serta tindak pidana korupsi yang hingga saat ini belum bisa terselasaikan dari permasalahan hukum di Indonesia.
Korupsi merupakan kejahatan yang masuk dalam kategori extra ordinary crime di Indonesia, sehingga konsekuensinya harus ada upaya hukum yang luar biasa dalam penangganan kejahatan ini, pemerintah sebagai pelaksana segala kebijakan di negara ini memang selalu berbenah dari tahun ke tahun hingga muncul adanya UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada tahun 1999 kemudian diatur kembali pada tahun 2001.
Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia sebenarnya sudah mendapatkan perhatian yang khusus sejak Indonesia merdeka, terbukti dari dua kali dibentuknya Badan Pemberantasan Korupsi, Paran dan Operasi Budhi, untuk memantau kekayaan para pejabat negara saat itu, meskipun akhirnya “Operasi Budhi” tidak berjalan sesuai dengan harapan dalam pemberantasan korupsi pada saat itu. Sedangkan pada masa Orde baru yang dipimpin oleh mantan presiden Soeharto, meskipun terjadi sebuah korupsi massal saat itu, akan tetapi terbentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) merupakan semangat dari pemerintah dalam mencegah terjadinya kejahatan korupsi di Indonesia. Korupsi yang dilakukan oleh para elit pemerintah pada orde baru tersebut kemudian menjalar hingga dilakukan oleh semua elemen penyelenggara negara pada era reformasi hingga akhirnya kejahatan ini kemudian menjadi sulit untuk diberantas karena sudah dianggap menjadi budaya dari bangsa hingga saat ini.
Korupsi dalam UU tipikor memang terdiri dari berbagai macam perbuatan, pasal 2 UU Tipikor mengatur pelanggaran korupsi secara individu, pasal 3 mengatur tentang korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan, sedangkan pasal 5 dan 6 mengatur tentang suap, pasal 11 mengatur tentang gratifikasi dan penggelapan diatur dalam pasal 8. dari sekian banyak tindak kejahatan yang masuk dalam ranah korupsi tersebut sebenarnya memang telah mewadahi segala bentuk kejahatan yang ada agar dapat ditindak secara hukum oleh aparat penegak hukum di Indonesia, akan tetapi meskipun telah di benahi selama dua kali undang-undang tipikor, baik tahun 1999 dan tahun 2001, masih memiliki banyak kekurangan yang terdapat didalamnya.
Kekurangan yang terdapat didalam undang-undang korupsi yang akan kami bahas dalam tulisan ini hanya sebatas pada pasal 2 dan pasal 3 UU yang mengatur tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan baik oleh individu maupun oleh aparat pemerintahan. Undang-undang tipikor pasal 2 berbunyi
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
sementara bunyi pasal 3 dalam UU tipikor sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) .”
Keadaan hukum yang dibuat oleh pasal 2 dan pasal 3 diatas merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia, tak heran ketika pasal ini dibuat, banyak sekali pertentangan diantara para petinggi negara yang merumuskan undang-undang tersebut, terutama bagi kalangan yang sudah terbiasa melakukan tindakan korupsi di masa orde baru. semangat untuk terus berbenah dalam hal pemberantasan korupsi di Indonesia terus dilakukan dengan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003 yang diberikan kewenangan yang sangat luas untuk dapat melakukan pemberantasan korupsi.
Dua pasal diatas memang merupakan pasal yang sangat menakutkan bagi para koruptor di Indonesia, tambahan kata “dapat” pada dua pasal tersebut menjadi kekuatan utama dalam menjerat koruptor di Indonesia, karena hanya sebatas dapat merugikan keuangan negara atau perkonomian negara, seseorang sudah masuk dalam pelaku perbuatan korupsi, sehingga dapat dijerat dengan UU tipikor.
Aplikasi dari pasal diatas ternyata menimbulkan sebuah kontroversi dalam pelaksanaanya, sejenak memang dua pasal ini menjadi senjata utama dalam pemberantasan korupsi, akan tetapi dalam pasal ini juga terdapat ketidakjelasan standar dalam menentukan batasan hukuman yang ada. Pasal 2 menjelaskan bahwa pelaku tindak pidana hanya disebutkan hukum penjara minimal 4 tahun, sedangkan dalam pasal 3 hukuman penjara minimal 1 tahun dan paling lama, keduanya mencantumkan sama, 20 tahun atau seumur hidup, sehingga pada prakteknya berapapun biaya korupsi yang dia ambil dari tindak pidana korupsi yang dilakukan, maka hukumanya tetap sama, yaitu pidana penjara minimal 1 tahun untuk pelaku yang dijerat dengan pasal 2 dan minimal 4 tahun untuk pelaku yang dijerat dengan pasal 3.
Mahkamah Agung(MA) tahun 2006 telah memberikan putusan bagi pelaku tindakan korupsi di Indonesia. Data yang kami peroleh ada 21 putusan untuk kasus pasal 2 dan 27 putusan untuk kasus pasal 3. hukuman yang diberikan oleh MA terhadap pelaku korupsi tersebut terkadang memang tidak ada hubungan dengan faktor kerugian yang diderita oleh negara. hasilnya, pada kasus Dolfie Chirstian Efraim yang nerugikan keuangan negara sebesar Rp.397.800.000 diputus dengan hukuman 9 tahun penjara dan denda 300 juta subsidair lima bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp.6.600.000.
Hukuman diatas sangat berbeda sekali dengan putusan kasus korupsi yang dilakukan oleh Daniel Mandowen yang tersangkut dengan dana pengadaan dua unit ground power fiktif senilai Rp.1.075.000.000 yang di hukum dengan hanya 4 tahun penjara dan denda 200 juta rupiah. berdasarkan dua putusan diatas, maka terjadi sebuah ketidakadilan yang perlu untuk dibenahi dalam hukum di negara ini. jika tujuan hukum adalah tercapainya sebuah keadilan , maka harus ada sebuah kejelasan regulasi terkait dengan pelanggaran dan hukuman sebagai konsekuensi dari perbuatan yang akan diatur untuk dilaksanakan.
Korupsi Dalam Islam
korupsi didalam pasal 2 dan pasal 3 ini jika dikonversikan ke dalam hukum islam, maka hal yang paling mendekati dari kejahatan yang dimaksudkan adalah pencurian atau “as-surqoh”. letak persamaan antara perbuatan korupsi dalam pasal 2 dan 3 dengan as-surqoh ialah pengambilan harta yang bukan milik pribadi dengan jalan melanggar hukum untuk memperkaya diri sendiri .
Hukuman pencurian didalam islam didasarkan pada alqur’an surat almaidah ayat 38 yang berbunyi:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Hukum potong tangan yang dijadikan sebagai hukuman dari pencurian tersebut, menurut para ulama’ memiliki standarisasi tersendiri, hal ini diungkapkan oleh Muhammad syahrur maupun fadzlurrahman, Fadlurrahman dalam perumusan hukuman potong tangan dalam kasus pencurian ini haruslah memiliki teori gradasi, yaitu misalnya pencuri yang baru pertama kali dan harta yang diambil tidak melebihi batasan, maka tidak perlu hukuman potong tangan, melainkan cukup dengan hukuman ta’zir .
Muhammad Syahrur juga merekonstruksi teori hudud dengan prespektif baru, berasal dari inspirasi tindakan sahabat Umar bin Khattab yang membebaskan pencuri miskin yang mencuri ketika musim paceklik, dia berpendapat bahwa hukum potong tangan dalam ayat diatas merupakan batas hukuman maksimal dalam Al-qur’an, artinya seorang hakim tidak boleh memutuskan melebihi hukuman maksimal dari potong tangan ketika mengadili perkara pencurian, akan tetapi jika menetapkan sanksi yang lebih rendah diperbolehkan .
Selain dua teori yang dibuat oleh para ulama’ tersebut, hukuman potong tangan dalam islam juga memiliki batasan nisab tertentu dalam pelaksanaanya, melihat kenyataan banyaknya hukuman korupsi yang tidak berlandaskan pada keadilan pada kasus yang telah kami jelaskan diatas, sudah seharusnya hukum korupsi di Indonesia terkait dengan pasal 2 dan 3 UU tipikor tersebut harus kita buat dengan memberikan batasan-batasan tertentu didalam hukumanya, sehingga terjadi sebuah keadilan dalam hukuman yang diberikan kepada para koruptor di negara ini.

Solusi Permasalahan Korupsi
Pasal 2 dan 3 UU tipikor tersebut memang telah memberikan ketidakadilan dalam praktiknya di Indonesia, tidak ada kejelasan seberapa besar korupsi yang dilakukan dengan batasan minimal hukuman tertentu atau luasnya batasan seperti yang sekarang ini terjadi, membuat putusan para hakim lebih leluasa dalam memutuskan perkara dengan hukuman dari diatas 1 tahun atau 4 tahun hingga 20 tahun, sehingga menyebabkan terjadinya praktek hukuman dimana pelaku korupsi yang merugikan keuangan negara secara besar, dapat dihukum lebih ringan daripada mereka yang melakukan tindakan korupsi yang merugikan keuangan negara lebih kecil sebagaimana pada kasus diatas. dalam hal ini seharusnya kita memodifikasi proses pemberian hukuman dalam islam sebagaimana yang dirumuskan oleh fadzlurrahman dengan teori gradasinya dan Muhammad Syahrur teori hukuman maksimal yang kemudian menjadi inspirasi dalam pemecahan permasalahan yang terjadi saat ini.
Hukuman penjara yang dirumuskan dalam tindak pidana korupsi pasal 2 dan 3 UU tipikor ini dapat diubah atau ditambah dengan mencantumkan jumlah minimal kerugian negara dan jumlah minimal hukuman yang diterima oleh pelaku koruptor. hal ini mungkin selain menjadi hukuman yang seimbang bagi pelaku tindak pidana korupsi juga bisa menjadi pelajaran kepada koruptor yang terbiasa melakukan “permainan” dalam hukumanya dengan beberapa penegak hukum di Indonesia.
Hukuman yang dicantumkan dalam UU tipikor tersebut harus jelas sehingga mungkin dalam penjelasan atau bahkan dalam bentuk pasal bisa dituliskan kurang lebih seperti ini, bagi tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dibawah lima ratus juta rupiah, maka akan dipidana penjara minimal 5 tahun, pelaku tindak pidana korupsi di bawah satu milyar akan dipidana penjara minimal 10 tahun, sementara bagi pelaku korupsi yang merugikan keuangan negara di atas satu milyar akan dipidana penjara minimal 15 tahun dengan catatan segala yang terkait dengan hukuman tambahan dan denda tetap harus dilakukan sebagaimana mestinya yang telah dilakukan saat ini dan diharapkan hal ini dapat memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi dan terciptanya keadilan hukuman bagi para pelaku korupsi serta demi terciptanya penegakan hukum di Indonesia yang lebih baik.



DAFTAR BACAAN

• Adnan Amal, Taufiq, Metode dan Alternatif Neomodernisme dalam Islam, Bandung: Mizan, 1986
• Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: RM Book, 2007
• Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995.
• Muda Harahap, Hakim, Ayat-ayat Korupsi, Yogyakarta Gama Media.
• Mustaqim, Abdul, Epistimologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: LKiS, 2010.
• UNDANG UNDANG DASAR 1945.
• Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
• Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2001.
• http://www.beritajatim.com/detailnews.php/4/Hukum_&_Kriminal/2011-11-09/117303, Diakses pada tanggal 17 November 2011.
• http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2007/may_31/lkHukrim001.html, Diakses pada tanggal 17 November 2011.
2 comments:

selamat selamat... traktiran di double ya low pulang, jangan lupa dicatet sebagai hutang....hihihihi


hutang???? hutang pa nih? hehe......justru y kalah harus nraktir dunk.


Posting Komentar

it's just me

Foto saya
the student of indonesian islamic university......... faculty of law 2009

acan's music

Acan's Facebook